Akhir Mimpi Indah Bekerja di Perusahaan Teknologi

Dulu, bekerja di perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Apple, dan Meta adalah impian banyak orang. Gaji tinggi, makan siang gratis, kantor megah, dan budaya kerja yang bebas jadi daya tarik utamanya. Namun sekarang, mimpi itu berubah jadi realita yang lebih keras. Era “shut up and grind” — kerja diam-diam tanpa banyak protes — mulai dirasakan banyak pegawai teknologi.

Rachel Grey, mantan manajer teknik di Google, merasakan perubahan itu. Saat pertama bergabung pada 2007, ia disambut dengan bonus Natal, makanan mewah, dan transparansi perusahaan yang luar biasa. Tapi seiring waktu, tunjangan berkurang, transparansi hilang, dan tekanan meningkat. Setelah hampir 18 tahun, ia memilih keluar.

Perubahan besar di industri dimulai sejak pandemi, ketika perusahaan teknologi merekrut besar-besaran. Namun saat dunia kembali normal, mereka justru melakukan PHK massal. Meta menyebut 2023 sebagai “tahun efisiensi”, Google dan Amazon juga memangkas ribuan pekerja. Karyawan mulai takut bicara, dan pimpinan kembali menegaskan kontrol.

Kondisi ini diperburuk oleh kehadiran kecerdasan buatan (AI). CEO Meta Mark Zuckerberg menyatakan AI bisa menggantikan banyak insinyur menengah. Elon Musk bahkan memprediksi semua pekerjaan bisa hilang karena AI. Banyak pekerja yang kini merasa sedang melatih pengganti mereka sendiri.

Beberapa orang memilih keluar dan memulai perusahaan AI sendiri, seperti Jason Yuan yang meninggalkan Apple untuk membangun chatbot pribadi. Namun bagi sebagian besar lainnya, ini adalah masa penuh ketidakpastian. Program keberagaman dikurangi, fleksibilitas kerja menyusut, dan budaya kerja yang dulu dianggap istimewa kini semakin mirip perusahaan konvensional lainnya.

Rachel Grey mengenang masa lalu dengan nostalgia. Suatu hari, saat listrik mati di kantor, dia dan rekan-rekannya justru bermain perang Nerf di kantor. “Dulu ada rasa menyenangkan yang disetujui secara institusional,” kenangnya. Tapi kini, masa depan industri teknologi terlihat jauh lebih suram.

Perubahan ini menunjukkan bahwa dunia kerja teknologi telah “dewasa” dan tidak lagi menjadi taman bermain bagi inovator bebas. Secara bisnis, efisiensi adalah keharusan — namun dari sisi kemanusiaan, hilangnya ruang dialog, keamanan kerja, dan budaya inklusif jelas menjadi kemunduran. Terlebih lagi, ketakutan akan digantikan oleh AI bukan hanya menjadi ancaman pekerjaan, tapi juga tekanan psikologis bagi para pekerja. Ironisnya, industri yang dulu mendorong inovasi kini justru menciptakan iklim kerja yang kaku dan penuh tekanan. Kalau tren ini berlanjut, dunia kerja teknologi bisa kehilangan daya tariknya — bukan karena kurangnya gaji, tapi karena hilangnya jiwa.