Amerika Cabut Larangan Ekspor Software Chip ke China, Perang Dagang Mulai Reda

Amerika Serikat resmi mencabut pembatasan ekspor software desain chip ke China, setelah pertemuan dagang penting di London. Keputusan ini jadi salah satu langkah nyata meredakan ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia yang belakangan memanas.

Tiga perusahaan besar pembuat software desain chip, Synopsys, Cadence, dan Siemens mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima pemberitahuan resmi dari Departemen Perdagangan AS terkait pencabutan larangan tersebut.

Sebagai informasi, software yang dimaksud adalah Electronic Design Automation (EDA), perangkat penting untuk merancang dan mengembangkan microchip. Tanpa akses ke EDA, perkembangan industri semikonduktor China bisa terhambat parah. Data menyebutkan, ketiga perusahaan ini menguasai 70% pasar EDA di China.

Larangan ekspor ini awalnya diberlakukan pada Mei lalu, sebagai reaksi atas langkah China yang membatasi ekspor mineral tanah jarang (rare earth), komponen penting untuk barang elektronik, kendaraan listrik, hingga senjata militer.

Namun, usai pertemuan dagang di London pada Juni lalu, kedua negara sepakat melonggarkan beberapa aturan. AS akan menghapus pembatasan ekspor software chip, bahan kimia ethane, dan mesin jet. Sebagai gantinya, China akan mempercepat proses izin ekspor mineral tanah jarang ke AS.

“AS telah membatalkan serangkaian larangan ekspor, sementara China sedang meninjau kembali perizinan ekspor yang sesuai aturan,” ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China.

Selain software chip, AS juga mencabut larangan ekspor ethane ke China. Tahun lalu, hampir 50% ekspor ethane AS, bahan baku utama untuk industri plastik dikirim ke Negeri Tirai Bambu. Kabar lain juga menyebut, General Electric (GE) telah mendapat lampu hijau untuk kembali mengekspor mesin jet ke China.

Meski ada kemajuan, isu besar seperti tarif impor kedua negara belum tuntas. Saat ini, tarif AS atas barang China masih di kisaran 55%, termasuk tambahan tarif akibat isu fentanyl. Sementara itu, China disebut menetapkan tarif 10% untuk produk asal AS, meski detail rinci soal ini masih belum sepenuhnya jelas.

Langkah terbaru ini dinilai sebagai sinyal positif bahwa kedua negara mulai sadar, konfrontasi ekonomi hanya merugikan semua pihak. Namun, dengan masa berlaku gencatan dagang yang akan habis Agustus nanti, situasi masih bisa berubah sewaktu-waktu.