Persaingan antara Amerika Serikat dan China dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) memasuki babak baru setelah Konferensi Dunia AI di Shanghai akhir pekan lalu. Dalam acara bergengsi itu, China menegaskan ambisinya untuk memimpin kerjasama global di bidang AI melalui pendirian organisasi internasional berbasis di Shanghai. Tema konferensi, “Global Solidarity in the AI Era”, mencerminkan pendekatan China yang kini mengusung semangat inklusif: AI untuk semua.
Namun di sisi lain, Amerika Serikat justru terlihat belum bulat dalam menentukan arah strateginya. Kebijakan proteksionis yang selama ini dijalankan, termasuk pembatasan ekspor chip canggih Nvidia ke China, kini mulai dipertimbangkan ulang. Data menunjukkan bahwa setelah diberlakukannya larangan ekspor, sekitar $1 miliar chip B200 tetap berhasil masuk ke China melalui jalur ilegal dalam waktu tiga bulan. Namun, minat pasar gelap ini merosot tajam setelah AS memperbolehkan kembali ekspor chip lama seperti Nvidia H20, menunjukkan bahwa akses legal tetap lebih diutamakan pelaku industri di China.
Hal ini menantang asumsi lama bahwa larangan total akan efektif dalam menahan laju teknologi AI China. Faktanya, justru memicu China untuk mempercepat kemandirian teknologi, termasuk pengembangan chip dan model AI lokal yang terbukti mampu bersaing, seperti Deepseek dan Kimi K2.
Dari sudut pandang teknologi, upaya China untuk memajukan AI melalui model-model efisien dan adaptif tanpa tergantung pada hardware tercanggih membuka dimensi baru dalam kompetisi global. Ini menunjukkan bahwa kekuatan AI tak hanya terletak pada kecanggihan chip, tetapi pada keahlian dalam desain arsitektur model, optimasi algoritma, serta efisiensi data dan energi.
Washington kini menghadapi dilema strategis: melanjutkan tekanan teknologi demi alasan keamanan nasional, atau mengadopsi pendekatan kolaboratif demi menjaga dominasi pasar global. Keputusan untuk melonggarkan sebagian kontrol ekspor menunjukkan bahwa pendekatan hybrid—kombinasi ekspor selektif dan pengawasan ketat—mulai mendapat tempat.
Namun, Presiden Trump tetap konsisten dalam retorikanya bahwa AS harus memimpin perlombaan AI. Dalam AI Action Plan yang diumumkan minggu lalu, disebutkan bahwa kemampuan komputasi AI adalah kunci bagi keunggulan ekonomi dan militer, serta bahwa akses ke teknologi tersebut harus dibatasi bagi “lawan asing”.
Pertemuan bilateral antara delegasi dagang AS dan China yang berlangsung di Stockholm minggu ini akan menjadi penentu arah jangka panjang persaingan ini. Apakah akan tercapai kesepakatan tarif baru atau hanya perpanjangan gencatan, hasilnya akan membentuk babak berikutnya dalam perebutan pengaruh global melalui AI.
Dalam era AI yang semakin kompleks dan strategis, dominasi teknologi tidak hanya ditentukan oleh kepemilikan chip atau kekuatan pasar, tetapi juga oleh kemampuan membangun ekosistem terbuka yang mampu menarik kolaborasi internasional, sekaligus menjaga nilai-nilai dan kepentingan nasional.