Kisah Duncan Okindo, pemuda 26 tahun asal Kenya, membuka mata dunia tentang gelapnya industri penipuan digital di Asia Tenggara. Ia awalnya tergiur tawaran pekerjaan customer service di Thailand, namun setibanya di Bangkok, justru diculik dan dipaksa bekerja di sebuah scam compound di kawasan perbatasan Myanmar–Thailand yang terkenal rawan hukum
Okindo mengungkapkan ia dikurung selama empat bulan di kompleks KK Park yang dijaga ketat oleh pria bersenjata. Tempat itu ternyata markas sindikat kriminal yang menjalankan penipuan berskala global. Dalam ruangan besar berisi ratusan orang, ia dipaksa bekerja di depan komputer setiap hari, menargetkan korban dari seluruh dunia.
Yang mengejutkan, sindikat tersebut menggunakan ChatGPT sebagai alat utama untuk memperdaya korban. Okindo menyebut ChatGPT sebagai “alat AI yang paling sering digunakan untuk membantu para scammer,” karena memudahkan mereka meniru gaya bicara orang Amerika dengan meyakinkan. Para pekerja seperti dirinya berpura-pura menjadi investor kaya, bahkan melakukan riset pasar real-time dengan bantuan AI agar percakapan terdengar alami.
Target utama mereka adalah agen real estat di Amerika Serikat, khususnya di situs seperti Zillow. Setiap hari, Okindo diharuskan menghubungi puluhan agen dan meyakinkan minimal dua orang untuk menaruh uang mereka ke dalam investasi kripto fiktif. Uang tersebut akhirnya disedot oleh sindikat.
Situasi di dalam kamp pun mengerikan. Okindo bercerita bahwa pekerja yang gagal memenuhi target dipukul, dipermalukan, bahkan disetrum dengan tongkat listrik. Namun, saat korban berhasil ditipu, para bos merayakannya dengan pesta dan bunyi genderang.
Kisah Okindo bukan satu-satunya. Reuters juga berbicara dengan dua warga Myanmar yang dipaksa bekerja di skema serupa. Mereka mengaku ChatGPT membantu meningkatkan skala operasi, termasuk romance scam di mana korban dirayu hingga percaya.
Fakta bahwa teknologi AI bisa dimanfaatkan untuk kejahatan skala besar menjadi alarm bagi dunia digital. Walau OpenAI menyatakan telah bekerja keras memutus akses pelaku penipuan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyalahgunaan teknologi masih terjadi.
Kasus ini memperlihatkan dua sisi mata uang dari kemajuan AI. Di satu sisi, AI bisa membantu produktivitas dan inovasi, namun di sisi lain ia bisa menjadi alat kejahatan jika jatuh ke tangan yang salah. Dunia perlu memperkuat regulasi, memperketat pengawasan platform AI, serta memberi perlindungan bagi korban human trafficking seperti Okindo.
Kini, Okindo sudah kembali ke Kenya, namun ia mengaku masih trauma dan menerima ancaman dari orang-orang yang diduga terkait sindikat. Kasus ini menjadi pengingat bahwa penipuan digital bukan sekadar masalah teknologi, tetapi juga isu kemanusiaan.