Fiksi Ilmiah China Curi Hati Pembaca Indonesia

Dulu, dunia fiksi ilmiah (sci-fi) lebih identik dengan nama-nama besar dari Barat seperti Isaac Asimov, Arthur C. Clarke, hingga Ursula K. Le Guin. Namun kini, penulis asal China, Liu Cixin, ikut jadi pusat perhatian dunia, termasuk di Indonesia.

Novel karya Liu berjudul The Three-Body Problem sukses mengantongi penghargaan bergengsi Hugo Award kategori Best Novel tahun 2015. Ini menjadi momen bersejarah karena Liu adalah penulis China pertama yang mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia sci-fi dan fantasi itu.

Bagi Oni Suryaman, penerjemah versi bahasa Indonesia novel tersebut, The Three-Body Problem bukan sekadar kisah alien atau sains semata. “Karya Liu mengangkat pertanyaan besar tentang posisi manusia di alam semesta dan ke mana peradaban kita akan menuju,” ujarnya.

Sebagai guru matematika, Oni mengaku kagum dengan kedalaman ilmiah sekaligus filosofis novel itu. Meski begitu, proses menerjemahkannya tak mudah. “Tantangan terbesarnya memahami konteks sejarah China dan berbagai konsep ilmiah yang cukup rumit. Kalau salah paham, terjemahannya bisa keliru,” jelasnya.

Bukan Hanya Liu Cixin
Popularitas fiksi ilmiah China di Indonesia ternyata tak berhenti di Liu saja. Nama-nama lain seperti Hao Jingfang, peraih Hugo Award 2016 lewat Folding Beijing, serta Chen Qiufan dengan novel distopianya The Waste Tide, juga mulai dikenal.

Silvana, seorang konsultan yang juga penggemar berat sci-fi, mengaku tertarik sejak membaca karya-karya Liu, termasuk The Wandering Earth. Baginya, fiksi ilmiah China menawarkan warna baru. “Banyak cerita yang dipengaruhi mitologi dan budaya ribuan tahun China, meski latarnya modern atau futuristik. Bahkan saat membahas kegelisahan hidup di kota besar pun tetap terasa dekat,” ungkap Silvana.

Silvana juga merekomendasikan kumpulan cerpen seperti Sinopticon terjemahan Xueting Christine Ni dan Broken Starskarya Ken Liu, yang menurutnya banyak memuat kritik sosial hingga konflik batin, khususnya dari perspektif penulis perempuan China.

Cita Rasa Asia yang Kental
Menurut Oni, fiksi ilmiah China punya ciri khas Asia yang kuat. “Kalau sci-fi Barat sekarang lebih banyak bicara soal isu sosial seperti rasisme atau kesetaraan gender, fiksi ilmiah China cenderung balik ke tema klasik: eksplorasi luar angkasa dan masa depan peradaban,” katanya.

Silvana bahkan rela terbang ke Chengdu, China, untuk menghadiri World Science Fiction Convention (WorldCon) ke-81 pada 2023 lalu. Ia terkesan dengan penyelenggaraannya yang megah, mulai dari fasilitas untuk peserta asing, tur museum, sampai kehadiran robot raksasa dari film The Wandering Earth. “Luar biasa! Tapi sayangnya, sekitar 60 persen sesi WorldCon cuma pakai bahasa Mandarin, jadi sulit juga untuk peserta internasional,” ujarnya.

Meningkatnya Minat di Indonesia
Meski jumlah pembaca fiksi ilmiah di Indonesia masih kalah populer dibanding genre fantasi, Oni optimis. Komunitas pembacanya memang kecil, tapi kritis dan loyal. Terbukti, versi terjemahan The Three-Body Problem yang pertama kali terbit 2019 kini sudah cetak ulang sampai empat kali.

Oni dan Silvana sama-sama berharap lebih banyak karya sci-fi China diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, termasuk adaptasi film atau serial. “Film itu media ampuh untuk mempopulerkan fiksi ilmiah,” kata Oni.

Lebih jauh, Silvana melihat potensi besar Asia membangun komunitas sci-fi regional. “China bisa mempelopori konvensi yang melibatkan penulis dari Filipina, Jepang, Indonesia, dan negara Asia lainnya. Selama ini belum ada yang seperti itu di Asia,” jelasnya.

Kebangkitan fiksi ilmiah China menandai bahwa masa depan tak lagi hanya dimonopoli budaya Barat. Imajinasi soal masa depan bisa datang dari Timur, dengan perspektif, nilai, dan cerita yang berbeda. Dan seperti yang dikatakan Oni dan Silvana, selama ada akses dan minat, pembaca Indonesia siap menyambutnya.