Gelombang penolakan terhadap kacamata pintar kembali mencuat, kali ini dipimpin oleh Generasi Z. Meski perusahaan teknologi besar seperti Google dan Meta gencar mempromosikan perangkat canggih dengan kamera dan fitur AI, banyak anak muda justru melihatnya sebagai ancaman serius bagi privasi.
Kekhawatiran itu makin nyata setelah insiden di sebuah European Wax Center di Manhattan. Seorang pelanggan mengaku kaget mendapati pegawainya mengenakan kacamata Meta Ray-Ban yang dilengkapi kamera. Meski pihak perusahaan menegaskan perangkat tidak digunakan saat bekerja, peristiwa itu memicu keresahan. Publik pun ramai bertanya-tanya, kapan dan bagaimana seseorang bisa direkam tanpa izin.
Media sosial menjadi wadah utama penolakan. Sebuah video dari kreator Vanessa Orozco yang menyoroti risiko direkam tanpa sepengetahuan pelanggan bahkan ditonton lebih dari 10 juta kali di TikTok. Banyak komentar mengungkap keresahan yang sama: lebih baik perangkat semacam ini tidak ada sama sekali.
Fenomena ini mengingatkan pada kegagalan Google Glass lebih dari satu dekade lalu. Saat itu, publik tidak banyak tertarik karena isu privasi. Kini, perusahaan mencoba lagi, tetapi tantangan serupa muncul, hanya saja generasinya berbeda. Bedanya, Gen Z jauh lebih sensitif terhadap jejak digital. Mereka sadar bahwa rekaman sekecil apapun bisa berpengaruh pada masa depan, mulai dari karier hingga kehidupan pribadi.
Meta sendiri mengklaim sudah memberi tanda lampu saat perekaman berlangsung. Namun, fakta bahwa ada cara untuk memodifikasi atau mematikan fitur tersebut membuat jaminan itu terasa rapuh. Bagi pekerja di lini depan layanan publik, ancaman direkam secara diam-diam tentu menambah tekanan.
Dari sisi penjualan, tren ini tetap menunjukkan arah positif. Meta Ray-Bans diproyeksikan terjual empat juta unit di Amerika Serikat hingga akhir tahun, naik tajam dari 1,2 juta unit pada 2024. Artinya, meski kritik keras datang dari Gen Z, perangkat ini tetap punya pasar yang kuat.
Kacamata pintar memang menjanjikan pengalaman baru, terutama bagi kreator konten. Namun, kenyamanan segelintir pengguna tidak bisa mengorbankan rasa aman publik. Jika teknologi terus berjalan lebih cepat daripada aturan dan etika, maka wajar saja generasi muda memilih melawan. Mereka tidak menolak inovasi, hanya ingin memastikan batas privasi tidak dilanggar.