Upaya pertahanan siber modern semakin mengandalkan pendekatan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif. Salah satu strategi yang kembali mendapat sorotan adalah penggunaan teknik cyber deception seperti honeypot dan akun umpan. Namun, para pakar keamanan mengingatkan bahwa strategi ini bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak diterapkan dengan perencanaan yang matang.
Pusat Keamanan Siber Nasional Inggris (National Cyber Security Centre/NCSC) baru-baru ini mengungkapkan hasil uji coba penggunaan teknologi cyber deception melalui program Active Cyber Defense 2.0. Dalam uji coba yang melibatkan sejumlah perusahaan sukarelawan, NCSC menemukan bahwa honeypot dan sistem umpan lain mampu memberikan visibilitas tambahan terhadap aktivitas penyerang, bahkan pada sistem lama atau sistem dengan fungsi khusus yang biasanya sulit dipantau.
Menurut NCSC, penyerang yang terjebak dalam sistem umpan sering kali meninggalkan jejak digital yang bernilai tinggi. Informasi ini dapat diolah menjadi intelijen ancaman yang membantu organisasi memahami metode, tujuan, dan pola serangan yang sedang berkembang. Meski demikian, manfaat tersebut hanya bisa dirasakan jika penerapan cyber deception dilakukan dengan strategi yang jelas.
NCSC menekankan bahwa tanpa perencanaan yang tepat, teknologi deception justru berisiko menimbulkan “noise” alih-alih wawasan. Salah konfigurasi dapat menyebabkan ancaman tidak terdeteksi, menimbulkan rasa aman palsu, atau bahkan membuka celah baru yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber. Oleh karena itu, penyelarasan dan pemeliharaan sistem deception membutuhkan perhatian berkelanjutan, bukan sekadar instalasi awal.
Menariknya, temuan NCSC juga menunjukkan bahwa merahasiakan penggunaan cyber deception belum tentu menjadi pilihan terbaik. Data uji coba mengindikasikan bahwa ketika penyerang mencurigai adanya sistem umpan, kepercayaan diri mereka menurun. Kondisi ini dapat memperlambat serangan, mengganggu metode yang digunakan, dan membuang waktu pelaku, sehingga memberi keuntungan strategis bagi pihak bertahan.
Di sisi lain, tantangan keamanan siber juga muncul dari pesatnya adopsi platform kecerdasan buatan (AI). Sebuah insiden yang diungkap oleh perusahaan keamanan Ox Security menunjukkan bagaimana lemahnya kontrol bawaan pada beberapa platform AI dapat berdampak finansial serius. Dalam kasus tersebut, perubahan batas anggaran yang dilakukan tanpa pengawasan memadai menyebabkan pengeluaran yang membengkak dalam waktu singkat.
Insiden ini menyoroti masalah sistemik pada sejumlah platform AI yang dinilai lebih memprioritaskan kecepatan dan kemudahan akses dibandingkan perlindungan. Kombinasi antara token API yang bocor dan kontrol anggaran yang longgar berpotensi dimanfaatkan, baik secara tidak sengaja maupun oleh aktor jahat, untuk memicu penggunaan tanpa batas.
Baik penggunaan cyber deception maupun platform AI menunjukkan satu benang merah yang sama: teknologi canggih tidak otomatis meningkatkan keamanan tanpa tata kelola yang kuat. NCSC memandang cyber deception sebagai bagian penting dari strategi pertahanan modern, namun hanya efektif jika diiringi kebijakan, konfigurasi yang tepat, serta pemantauan berkelanjutan. Hal serupa berlaku pada pemanfaatan AI, di mana kontrol akses dan pembatasan penggunaan menjadi kunci untuk mencegah kerugian besar.
Di tengah lanskap ancaman yang terus berkembang, organisasi dituntut tidak hanya mengadopsi teknologi terbaru, tetapi juga memastikan bahwa setiap alat yang digunakan benar-benar mendukung tujuan keamanan, bukan justru menambah risiko baru.

