Kisah Inspiratif Preston Thorpe, Programmer didalam Penjara

Siapa sangka seorang narapidana bisa bekerja sebagai software engineer di sebuah startup teknologi? Inilah kisah nyata Preston Thorpe, seorang pria yang sedang menjalani tahun ke-11 masa hukumannya, namun juga aktif bekerja sebagai engineer di perusahaan rintisan berbasis di San Francisco.

Thorpe menjadi perbincangan setelah kontribusinya dalam proyek open source menarik perhatian CEO perusahaan database Turso, Glauber Costa. Sang CEO begitu kagum dengan hasil kerja Thorpe, hingga langsung menawarkannya pekerjaan penuh waktu. Namun ada satu hal yang mengejutkannya — Thorpe ternyata sedang menjalani hukuman penjara.

“Saya lihat profil GitHub-nya, dan dia mencantumkan bahwa dia dipenjara. Ini cerita yang belum pernah saya temui sebelumnya,” ujar Costa kepada TechCrunch.

Harapan Baru dari Balik Penjara

Preston Thorpe tergabung dalam program eksperimental di sistem penjara negara bagian Maine, yang memungkinkan narapidana untuk bekerja jarak jauh secara legal. Program ini menjadi sarana rehabilitasi sekaligus bekal hidup yang bermakna bagi para napi.

Thorpe sendiri memiliki masa lalu kelam. Ia diusir dari rumah saat remaja, dan terjerumus dalam perdagangan narkoba lewat dark web. Saat berusia 20 tahun, ia dijatuhi hukuman penjara. Setelah sempat bebas, hidupnya kembali tak menentu dan ia dipenjara lagi hanya 14 bulan kemudian.

Namun segalanya berubah saat ia dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Mountain View di Maine, tepat sebelum pandemi COVID-19 merebak. Di sanalah semangat hidupnya mulai bangkit kembali.

“Saat datang ke Maine, suasananya benar-benar berbeda,” kenang Thorpe. “Saya merasa, mungkin hidup saya belum berakhir. Saya memutuskan: saya ingin membuat sesuatu dari hidup saya.”

Ia mulai kuliah daring di University of Maine at Augusta dan aktif di berbagai proyek teknologi. Sejak itu, waktunya di penjara ia habiskan untuk belajar pemrograman setiap hari.

Penjara yang Jadi Ruang Tumbuh

Maine memang dikenal sebagai pelopor dalam reformasi sistem pemasyarakatan. Di bawah kepemimpinan Komisaris Randall Liberty, penjara di Maine mulai fokus pada rehabilitasi lewat pendidikan, pekerjaan, dan perawatan kesehatan mental.

“Sangat tidak masuk akal jika kita hanya mengurung orang dan membiarkan mereka keluar dalam kondisi lebih trauma,” kata Liberty. “Kalau mereka diberi pendidikan, angka mereka kembali ke penjara nyaris nol.”

Statistik membuktikan: tingkat residivisme (pengulangan tindak pidana) di Maine hanya sekitar 21-23% untuk pria, dan 9% untuk wanita. Bagi napi yang mengikuti kelas kuliah, angka itu nyaris nol persen.

Dunia Teknologi yang Inklusif

Di dunia open source, di mana identitas seringkali hanya sebatas nama pengguna di GitHub, Thorpe akhirnya bisa membangun reputasinya sebagai programmer mumpuni — bukan sebagai mantan kriminal.

“Bagi komunitas, dia hanyalah seseorang yang suka Linux dan database relasional,” ujar CEO Turso. “Dan itu memberinya rasa percaya diri.”

Kini, sekitar 30 narapidana lain juga mengikuti jejaknya. Mereka tinggal di unit khusus bernama Earned Living Unit, tempat yang lebih terbuka dan hanya diperuntukkan bagi napi berperilaku baik. Dari gaji mereka, 10% diserahkan ke negara untuk restitusi atau tanggungan lainnya.

Sebuah Harapan di Tengah Sistem

Kisah Preston Thorpe bukan hanya tentang perubahan individu, tetapi juga potret masa depan pemasyarakatan yang lebih manusiawi. Thorpe sendiri mengakui kesalahan masa lalunya, namun kini merasa telah menjadi pribadi yang berbeda.

“Semua kenangan saat saya berada di jalanan terasa seperti mimpi buruk dari kehidupan orang lain,” ujarnya. Dengan kerja keras dan kesempatan kedua, Preston Thorpe membuktikan bahwa bahkan dari balik jeruji, masa depan yang cerah tetap bisa diraih.