Ledakan Popularitas Sora Picu Krisis Kepercayaan Dunia Maya

Aplikasi video pendek berbasis kecerdasan buatan (AI) terbaru dari OpenAI, Sora, tengah menjadi sorotan global. Hanya dalam hitungan hari sejak diluncurkan pada 30 September 2025, Sora berhasil menembus lebih dari satu juta unduhan dan menduduki puncak tangga aplikasi di App Store Amerika Serikat. Namun di balik popularitasnya, Sora memunculkan krisis baru dalam hal kepercayaan terhadap konten digital yang beredar di dunia maya.

Dunia Virtual yang Terlalu Nyata

Begitu membuka aplikasi Sora, pengguna seolah masuk ke dunia paralel di mana hal yang mustahil menjadi nyata. Michael Jackson tampil melakukan stand-up comedy, alien dari film “Predator” sibuk membalik burger di dapur McDonald’s, hingga Ratu Elizabeth terlihat melompat dari atas meja di sebuah pub. Semua video itu tampak nyata, padahal seluruhnya dihasilkan oleh AI.

Sora memungkinkan pengguna membuat video hiper-realistis berdurasi sepuluh detik lengkap dengan suara latar dan dialog hanya dengan mengetikkan teks. Untuk mengaksesnya, pengguna harus memindai wajah dan merekam suara singkat guna menghasilkan tanda tangan suara unik. Fitur andalan bernama “Cameos” bahkan memungkinkan pengguna menempelkan wajah mereka atau orang lain ke dalam video apa pun.

Masalah Etika dan Kebingungan Publik

Fenomena video yang terlihat sangat nyata namun sepenuhnya buatan ini memicu perdebatan serius. Sam Gregory, pakar deepfake sekaligus Direktur Eksekutif organisasi HAM WITNESS, menilai bahwa risiko terbesar dari Sora adalah hilangnya kemampuan masyarakat membedakan antara konten asli dan palsu. “Masalah utamanya bukan hanya video palsu individu, tetapi kabut keraguan yang menyelimuti semua yang kita lihat,” ujarnya.

Walaupun setiap video Sora diberi watermark, berbagai situs kini menawarkan layanan penghapusan tanda tersebut. Akibatnya, banyak video hasil Sora beredar bebas di media sosial tanpa tanda bahwa itu buatan AI.

Dari Karakter Kartun Hingga Tokoh yang Telah Tiada

Kebijakan awal OpenAI yang longgar terhadap hak cipta membuat pengguna bebas menciptakan ulang karakter dari film dan serial populer seperti “SpongeBob SquarePants”, “South Park”, hingga “Breaking Bad”. Bahkan muncul video yang menampilkan kembali tokoh-tokoh terkenal yang sudah meninggal, seperti Tupac Shakur berjalan-jalan di Kuba, Hitler berdebat dengan Michael Jackson, dan Martin Luther King Jr. yang menyerukan pembebasan rapper Diddy.

Zelda Williams, putri mendiang komedian Robin Williams, menjadi salah satu yang mengecam keras penggunaan wajah ayahnya di Sora. Melalui Instagram, ia menulis bahwa video semacam itu tidak bisa disebut karya seni, melainkan “produk menjijikkan yang merusak warisan seni dan kemanusiaan.”

Keluarga tokoh legendaris anak-anak, Fred Rogers, juga menyampaikan kekecewaan atas video Sora yang menampilkan “Mister Rogers” memegang senjata atau berinteraksi dengan tokoh fiktif secara tidak pantas. Mereka meminta OpenAI memblokir penggunaan wajah dan suara Rogers agar tidak disalahgunakan.

Hollywood Mulai Melawan

Serikat aktor Hollywood seperti SAG-AFTRA dan sejumlah agensi mulai menuduh OpenAI menggunakan kemiripan wajah selebritas tanpa izin. Inti persoalannya adalah siapa yang memiliki kendali atas citra wajah dan karakter berlisensi, serta bagaimana kompensasi yang adil harus diberikan.

Menanggapi tekanan tersebut, CEO OpenAI Sam Altman menjanjikan sistem baru yang memberi hak lebih besar kepada pemilik karakter untuk menentukan bagaimana tokoh mereka digunakan dalam video AI. Ia juga menyebut OpenAI sedang menjajaki pembagian pendapatan dengan para pemegang hak cipta. Kini, studio atau pemegang hak dapat memilih untuk mengizinkan karakter mereka dipakai secara eksplisit, bukan otomatis diizinkan seperti sebelumnya.

Altman menyebut masa depan kreativitas akan mengarah pada pembuatan konten yang sangat personal, bahkan untuk satu penonton saja. Menurutnya, “Ledakan besar kreativitas akan segera terjadi, dan kualitas seni serta hiburan akan meningkat drastis.” Ia menyebut tren ini sebagai bentuk baru dari “fan fiction interaktif”.

Perlombaan Melindungi Identitas Digital

Bersamaan dengan meningkatnya popularitas Sora, lembaga pengelola warisan tokoh ternama mulai memperkuat perlindungan terhadap identitas digital para klien mereka. CMG Worldwide, yang mewakili warisan sejumlah selebritas seperti Christopher Reeve dan Rosa Parks, bekerja sama dengan perusahaan deteksi deepfake Loti AI. Teknologi Loti AI akan memantau serta menghapus konten tiruan yang tidak sah di internet.

CEO Loti AI, Luke Arrigoni, mengatakan sejak peluncuran Sora versi terbaru, jumlah pengguna yang mendaftar ke platformnya melonjak 30 kali lipat. “Banyak orang mencari cara untuk kembali mengendalikan citra digital mereka sendiri,” ujarnya.

Kontroversi Video Fetish dan Pelecehan Digital

Masalah Sora tidak berhenti pada pelanggaran hak cipta. Jurnalis Business Insider, Katie Notopoulos, mengungkap pengalamannya saat wajahnya digunakan tanpa izin untuk membuat video berunsur fetish di Sora 2. Ia menemukan banyak video yang menampilkan dirinya dalam bentuk “hamil”, “raksasa”, atau “perut mengembang”, yang jelas merupakan bagian dari konten fetish daring.

“Awalnya saya pikir itu lucu, tapi lama-kelamaan terasa menjijikkan. Rasanya aneh mengetahui wajah saya digunakan untuk kesenangan seksual tanpa izin,” tulisnya. Ia juga menemukan kasus serupa menimpa jurnalis perempuan lain dan karyawan wanita dari perusahaan modal ventura.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Katie menemukan video remaja pria yang membuat konten bersama bintang film dewasa di Sora. Meski video tersebut tidak mengandung ketelanjangan, konteksnya tetap tidak pantas. Beberapa pengguna juga memanfaatkan sistem untuk membuat video dengan prompt berisi anak di bawah umur, yang menimbulkan pertanyaan serius soal pengawasan dan kontrol orang tua di aplikasi ini.

OpenAI telah mengumumkan fitur kontrol orang tua untuk akun remaja, tetapi belum menjelaskan secara rinci aturan mengenai interaksi antara anak dan pengguna dewasa. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah diperbolehkan membuat video cameo anak di bawah umur, atau menggunakan wajah orang dewasa di konten yang sensitif?

Fenomena “AI Slop” dan Kejenuhan Publik

Meski menuai kritik, Sora tetap menarik jutaan pengguna. Beragam video absurd kini bertebaran di platform, seperti rekaman nenek mengejar buaya di depan pintu rumah, atau “fat olympics” yang menampilkan orang bertubuh gemuk berlomba lompat galah. Konten seperti ini disebut “AI slop” oleh warganet, yaitu video buatan AI yang aneh, lucu, dan sulit dihentikan untuk ditonton. Beberapa pembuat konten bahkan menjadikannya sumber penghasilan.

Namun para ahli memperingatkan, banjir konten seperti itu bisa mengikis kepercayaan publik terhadap media digital. Ketika setiap video bisa dibuat seolah nyata, masyarakat semakin sulit membedakan mana yang benar dan mana yang buatan. Bahkan pemerintah atau pihak berkuasa dapat memanfaatkan kondisi ini untuk menyangkal bukti nyata dengan alasan “itu hanya hasil AI”.

Sam Gregory menegaskan kekhawatirannya terhadap potensi penyalahgunaan teknologi seperti Sora. “Saya khawatir akan muncul video palsu tentang protes, kekerasan, atau situasi kompromi yang menampilkan orang sungguhan, padahal semuanya rekayasa,” katanya.

Antara Kreativitas dan Kekacauan Digital

Sora mungkin menjadi tonggak baru dalam dunia hiburan dan kreativitas digital, tetapi juga membuka pintu pada kekacauan baru: kaburnya batas antara kenyataan dan ilusi. Ketika teknologi mampu menciptakan dunia yang terlihat nyata hanya dengan teks, masyarakat kini dihadapkan pada pertanyaan besar: seberapa jauh kita siap hidup di dunia yang tak lagi bisa dipercaya sepenuhnya?