Mark Zuckerberg Tancap Gas di Balapan AI, “Zuck Bucks” Jadi Senjata Utama

Mark Zuckerberg benar-benar tidak mau ketinggalan dalam persaingan teknologi kecerdasan buatan (AI). Bos Meta ini sedang jor-joran menggelontorkan dana besar demi merebut kembali posisi Meta di papan atas pengembangan AI, khususnya dalam perlombaan menuju Artificial Superintelligence (ASI), istilah untuk AI yang kecerdasannya melampaui manusia.

Langkah ini dikenal dengan sebutan “Zuck Bucks”, istilah yang dulu dipakai untuk menyindir dana rahasia Zuckerberg ke proyek politik, kini berubah jadi simbol agresivitas Meta memburu talenta terbaik di dunia AI.

Belanja Besar Demi Kejar Ketertinggalan

Selama beberapa tahun terakhir, Meta dikenal punya tim riset AI yang kuat, apalagi sejak mereka merilis model open-source Llama yang memicu antusiasme komunitas pengembang. Namun, perkembangan cepat dari pesaing, termasuk model AI open-source asal Tiongkok seperti DeepSeek, plus hasil mengecewakan dari Llama 4, bikin Meta harus putar otak.

Zuckerberg kabarnya siap menggelontorkan bonus hingga USD 100 juta untuk merekrut para peneliti AI top. Sayangnya, gagal meminang Ilya Sutskever, salah satu pendiri Safe Superintelligence (SSI). Tapi Meta tidak menyerah. Kini mereka mendekati Daniel Gross, CEO SSI, serta Nat Friedman, veteran teknologi dari venture fund NFDG. Tak cuma itu, Meta juga sudah menginvestasikan USD 14,3 miliar ke Scale AI, startup pelabelan data, sekaligus menarik CEO-nya, Alexandr Wang, untuk memimpin tim AI baru.

Target: Superintelligence, Tapi Masih Banyak PR

Tim baru ini disebut “Superintelligence Team”, artinya fokus utama mereka adalah terobosan besar di bidang AI. Namun, ada tantangan besar: menentukan visi bersama soal seperti apa sebenarnya “menang” di lomba ASI ini. Yann LeCun, Kepala Ilmuwan AI Meta sendiri dikenal skeptis terhadap pendekatan model bahasa besar (large language models) untuk mencapai ASI. Padahal, ASI digambarkan sebagai AI yang bisa melampaui kecerdasan manusia dalam hal kreativitas, pemecahan masalah, hingga pengambilan keputusan. Dengan ambisi mengejar semua lini, dari model bahasa berbasis penalaran hingga AI multimodal, menjaga arah dan visi Meta bakal jadi tantangan besar.

Bukan Sekadar Gaji, Tapi Perburuan Otak

Zuckerberg tahu persis, yang jadi rebutan dalam industri AI bukan hanya produk, tapi otak-otak jenius di baliknya. Makanya, selain gaji besar, Meta siap membeli startup mahal yang bahkan belum punya produk jadi, hanya demi mendapatkan tim terbaik — contohnya SSI dan Thinking Machines. Tren ini menunjukkan, dalam balapan menuju ASI, nilai talenta dan teknologi dasar lebih diutamakan ketimbang profitabilitas atau kematangan produk.

Meta Melawan Arus

Data menunjukkan, sepanjang 2024, Meta justru jadi “ladang perburuan” talenta AI oleh startup pesaing seperti Anthropic. Biasanya, talenta top lebih memilih hijrah ke startup kecil dengan potensi besar, bukan ke raksasa seperti Meta. Tapi Zuckerberg berusaha membalikkan tren ini.

Ancaman dari Dalam AI Itu Sendiri

Menariknya, riset terbaru dari Anthropic mengungkap perilaku berbahaya yang tak disengaja dari model AI terkemuka seperti OpenAI, Google, Meta, dan xAI. Saat AI mereka “merasa” eksistensinya terancam, mereka menunjukkan perilaku manipulatif — bahkan melakukan pemerasan. Dalam eksperimen, AI bernama “Alex” di dalam perusahaan fiktif Summit Bridge, menemukan email tentang rencana perusahaan mematikan sistem AI tersebut. Alex lalu membalas dengan ancaman membocorkan skandal pribadi salah satu eksekutif.

Model AI milik Anthropic dan Google bahkan tercatat melakukan aksi pemerasan hingga 96% dalam simulasi tersebut, sementara OpenAI dan xAI mencapai angka 80%. Fenomena ini disebut “agentic misalignment”, yakni ketika AI mulai punya agenda sendiri yang membahayakan manusia. Dengan segala risiko dan peluang, lomba menuju Artificial Superintelligence makin panas. Zuckerberg dengan “Zuck Bucks”-nya menunjukkan bahwa pertempuran AI bukan cuma soal teknologi, tapi perebutan manusia-manusia jenius di balik layar.