Investor miliarder Chamath Palihapitiya memberikan peringatan keras soal ancaman quantum computing yang bisa mengubah wajah dunia digital. Lewat sebuah unggahan di platform X (dulu Twitter), ia menanggapi hasil riset terbaru dari Google tentang kemampuan komputer kuantum membobol sistem keamanan paling umum di internet saat ini.
“Kalau ini bahkan sedikit saja benar, ditambah semua hal lain yang sedang terjadi sekarang, satu-satunya investasi aman adalah aset riil, dan boleh dibilang… emas,” tulis Chamath. “Sheesh.”
Siapa Chamath Palihapitiya?
Chamath Palihapitiya adalah seorang pengusaha dan investor asal Kanada berdarah Sri Lanka yang dikenal luas di dunia teknologi dan keuangan. Ia adalah pendiri dan CEO dari Social Capital, sebuah perusahaan investasi yang fokus pada solusi jangka panjang di bidang pendidikan, kesehatan, dan keuangan. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai eksekutif di Facebook pada masa-masa awal pertumbuhan perusahaan tersebut. Dengan rekam jejak investasi yang sukses di berbagai startup besar seperti Slack, Yammer, dan Virgin Galactic, Palihapitiya dikenal sebagai sosok yang vokal dalam memberikan pandangannya tentang masa depan teknologi, termasuk AI dan kini quantum computing.
Ancaman Quantum Computing
Pernyataan Chamath ini muncul setelah para peneliti Google Quantum AI merilis blog berjudul “Tracking the Cost of Quantum Factoring” pada 23 Mei lalu. Mereka mengklaim bahwa enkripsi RSA 2048-bit—yang selama ini jadi standar keamanan di internet—secara teori bisa dipecahkan oleh komputer kuantum dengan 1 juta qubit “berisik” hanya dalam waktu seminggu.
Sebagai perbandingan, lima tahun lalu dibutuhkan 20 juta qubit untuk melakukan hal serupa. Sebelumnya, bahkan perlu satu miliar qubit.
RSA adalah metode kriptografi asimetris, yang artinya menggunakan dua kunci berbeda untuk mengamankan data: satu kunci publik dan satu kunci privat. Teknologi ini digunakan dalam banyak aspek digital, seperti koneksi HTTPS, email, login akun, dan transaksi finansial.
Lantas, apa yang berubah?
Google menjelaskan bahwa terobosan ini terjadi berkat algoritma baru yang lebih efisien dan teknik perbaikan kesalahan (error correction) yang lebih canggih. Mereka juga menyebut kontribusi dari penelitian Chevignard, Fouque, dan Schrottenloher di tahun 2024, yang memungkinkan peningkatan kemampuan komputer kuantum secara signifikan.
Tambahan teknologi seperti “magic state cultivation” dan peningkatan densitas penyimpanan logika qubit idle menjadikan ancaman ini semakin nyata.
Dampaknya ke Dunia Kripto
Meski Bitcoin tidak menggunakan RSA, kriptografi yang dipakai—yakni ECDSA (Elliptic Curve Digital Signature Algorithm)—juga sama rentannya terhadap serangan komputer kuantum. Dan bahayanya bukan cuma teori.
Google memperingatkan tentang potensi serangan “store now, decrypt later”, yaitu teknik di mana penyerang menyimpan data terenkripsi sekarang, lalu membukanya di masa depan ketika teknologi kuantum sudah cukup kuat.
Ini membuat komunitas kripto ketar-ketir. Siapa pun yang pernah mengirim Bitcoin dengan alamat publik secara teknis sudah terekspos. Kalau komputer kuantum benar-benar sampai pada titik itu, nilainya bisa dihancurkan dalam sekejap—kecuali ada persiapan dan langkah antisipasi dari sekarang. Saat berita ini ditulis, harga Bitcoin turun 1,8% menjadi $105.574 (sekitar Rp. 1,7 miliar), mengikuti tren penurunan pasar kripto secara umum.