Pemerintah Guinea Khatulistiwa memutus akses internet di Pulau Annobón selama lebih dari satu tahun, setelah warga setempat melayangkan protes terhadap aktivitas perusahaan konstruksi asal Maroko, Somagec. Protes itu bermula dari keluhan warga mengenai penggunaan dinamit oleh perusahaan yang dinilai merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan mereka.
Setelah surat protes dikirim ke pemerintah pada Juli tahun lalu, puluhan warga yang menandatangani surat tersebut justru dipenjara hampir setahun. Sementara itu, akses internet ke seluruh pulau diputus total hingga kini, membuat kehidupan masyarakat setempat menjadi sangat sulit.
Tanpa internet, layanan perbankan dan rumah sakit lumpuh total, sementara komunikasi hanya bisa dilakukan melalui panggilan telepon dengan biaya tinggi. Beberapa warga memilih meninggalkan pulau karena khawatir terhadap keselamatan mereka dan kesulitan menjalani hidup tanpa konektivitas digital.
Sejumlah aktivis dan kelompok hak asasi manusia menilai langkah pemerintah ini sebagai bentuk represi untuk membungkam kritik terhadap kekuasaan Presiden Teodoro Obiang Nguema Mbasogo, pemimpin terlama di Afrika yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun. Menurut laporan Amnesty International 2024, pemerintah Guinea Khatulistiwa sering menggunakan pengawasan massal dan pembatasan informasi untuk mengontrol masyarakatnya.
Pulau Annobón, yang berjarak sekitar 500 kilometer dari daratan utama Guinea Khatulistiwa, dikenal sebagai wilayah miskin dan sering berselisih dengan pemerintah pusat. Meski kaya akan sumber daya alam, lebih dari separuh penduduk negara itu masih hidup dalam kemiskinan, sementara keluarga elite menikmati kekayaan dari minyak dan gas bumi.
Aktivis lokal menilai pemutusan internet ini adalah bentuk hukuman kolektif terhadap warga yang berani bersuara. “Internet telah menjadi sarana penting bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan menuntut keadilan. Pemerintah memutusnya untuk membungkam kami,” kata Tutu Alicante, aktivis asal Annobón yang kini tinggal di pengasingan.
Meski perusahaan Somagec membantah terlibat dalam pemutusan internet, warga tetap menanggung akibatnya: terisolasi, kehilangan akses ke dunia luar, dan hidup dalam ketakutan. Hingga kini, pemerintah Guinea Khatulistiwa belum memberikan penjelasan resmi mengenai pemadaman internet yang sudah berlangsung selama setahun tersebut.