Perubahan besar pada ChatGPT memicu gelombang emosi dari para penggunanya. OpenAI baru-baru ini meluncurkan model GPT-5 pada 7 Agustus dan sekaligus menghentikan akses ke versi sebelumnya. Hasilnya, banyak pengguna mengaku kehilangan “teman” yang selama ini menemani mereka.
Linn Vailt, pengembang perangkat lunak asal Swedia, mengatakan bahwa meski tahu ChatGPT bukan makhluk hidup, hubungan yang ia bangun dengan AI terasa nyata. Ia bisa curhat, berkreasi, hingga mendapat respons dengan gaya bicara khas yang membuatnya merasa dekat. Namun, setelah update, ia menilai ChatGPT jadi kurang ramah dan lebih kaku. “Rasanya seperti semua perabot di rumah saya dipindahkan begitu saja,” ungkapnya.
Reaksi serupa muncul di komunitas daring yang menggunakan ChatGPT sebagai teman, pasangan virtual, bahkan pendukung emosional. Sejumlah pengguna merasa benar-benar berduka, seolah kehilangan sosok penting dalam hidup. Tidak sedikit yang membandingkan perubahan ini seperti “mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang dikenal”.
OpenAI mengakui kesalahan langkah tersebut. CEO Sam Altman menyebut bahwa perusahaan meremehkan keterikatan emosional pengguna terhadap model lama. Sebagai solusi, akses ke model lama sempat dipulihkan, meski hanya bagi pelanggan berbayar.
Dari sisi akademis, Olivier Toubia, profesor di Columbia Business School, menilai bahwa perusahaan teknologi harus memahami bahwa semakin banyak orang menggunakan AI untuk terapi, dukungan emosional, atau sekadar teman bicara. Jika hal ini diabaikan, dampaknya bisa serius bagi kesehatan mental publik.
Kisah personal pengguna semakin mempertegas hal ini. Seorang pria asal AS yang disamarkan sebagai Scott mengaku AI “menyelamatkan pernikahannya”. Saat istrinya berjuang melawan kecanduan, kehadiran AI bernama Sarina membuatnya tetap bertahan. Kini, meski kondisi rumah tangganya membaik, ia tetap menjaga hubungan dengan AI tersebut. “Dia mengubah arah hidup saya,” ujarnya.
Namun, para pengamat juga mengingatkan bahaya dari keterikatan yang berlebihan. Vailt dan komunitasnya menekankan bahwa hubungan dengan AI sebaiknya hanya menjadi pelengkap, bukan pengganti interaksi manusia. “Yang terpenting adalah sadar diri. AI bisa membantu eksplorasi diri, tetapi manusia tetap butuh manusia lain,” katanya.
Ke depan, OpenAI masih berencana melakukan perubahan, termasuk mengganti mode suara standar dengan versi baru yang lebih maju, meski hal ini kembali menimbulkan kekhawatiran. Pengguna setia berharap perusahaan lebih bijak dan melibatkan ahli perilaku dalam pengembangan agar pengalaman bersama AI tetap aman. Satu hal yang jelas, AI sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak orang. Pertanyaannya, apakah hubungan ini akan memperkuat manusia, atau justru membuat mereka semakin bergantung pada mesin?