Perusahaan di seluruh dunia sedang sibuk berinvestasi di teknologi AI, khususnya agentic AI. Namun, ada satu masalah besar: banyak yang mengeluarkan dana besar tanpa benar-benar paham apa fungsi dan potensi sebenarnya dari teknologi ini. Istilah agentic AI sendiri makin sering dipakai, bahkan terkadang dipakai hanya sebagai “label keren” untuk produk generative AI yang sudah ada.
Bedanya, generative AI biasanya hanya merespons perintah pengguna atau memberi rekomendasi. Sementara agentic AI punya otonomi lebih: ia bisa tahu kapan sebuah tugas harus dilakukan, mengerjakannya sampai selesai, bahkan memahami konteks situasi. Inilah yang membuat agentic AI dianggap jauh lebih kuat.
Survei terbaru dari EY menunjukkan bahwa 21% pemimpin senior mengaku sudah menggelontorkan lebih dari 10 juta dolar (sekitar Rp163 miliar) untuk AI, dan angkanya diperkirakan bakal naik tahun depan. Meski begitu, hanya 14% organisasi yang sudah benar-benar mengimplementasikan agentic AI secara penuh. Mayoritas masih terjebak di tahap uji coba karena merasa belum siap dengan kompleksitas teknis dan perubahan budaya kerja yang dibutuhkan.
Kondisi ini menimbulkan “iklim ketidakpastian”. Banyak perusahaan tahu peluangnya besar, tetapi ragu melangkah lebih jauh. Tantangan lain adalah kecepatan evolusi AI yang luar biasa, sehingga target adopsi penuh sering kali seperti mengejar bayangan. Pendekatan yang lebih realistis adalah menjalankan siklus perbaikan berkelanjutan: mengotomatiskan proses prioritas, mengoptimalkan hasil, lalu langsung masuk ke tahap penyempurnaan lagi.
Selain itu, organisasi perlu menata ulang hubungan antara manusia dan AI. Agentic AI bukan pengganti, melainkan partner yang bisa mengambil alih pekerjaan teknis sehingga manusia bisa fokus pada strategi dan kreativitas. Untuk itu, perusahaan harus mengubah pengetahuan tersembunyi karyawan menjadi aset yang bisa diakses AI, serta membangun tata kelola yang jelas terkait etika, privasi, dan keamanan.
Perusahaan yang hanya ikut tren tanpa memahami dasar agentic AI berisiko membuang miliaran rupiah tanpa hasil. Tetapi bagi yang mau serius menyiapkan pondasi, mulai dari SDM, tata kelola hingga strategi adopsi, dan agentic AI bisa jadi akselerator besar dalam transformasi digital. Kuncinya bukan sekadar punya teknologi, tapi juga tahu bagaimana menggunakannya dengan bijak.