Protes Karyawan Microsoft Meningkat, Desak Putus Kontrak dengan Israel

Gelombang protes karyawan Microsoft kini mencapai titik panas. Kelompok bernama No Azure for Apartheid, yang beranggotakan karyawan dan mantan karyawan Microsoft, terus menekan perusahaan agar menghentikan kontrak dan kerja sama dengan militer serta pemerintah Israel. Tuntutan mereka juga mencakup desakan transparansi penuh atas hubungan bisnis Microsoft, seruan gencatan senjata di Gaza, serta perlindungan terhadap kebebasan berpendapat pro-Palestina.

Meski tuntutan itu tak pernah diindahkan manajemen, aksi mereka justru semakin berani. Setelah sempat menggelar demo di markas besar Microsoft dan acara publik, kini protes menyasar rumah pribadi eksekutif. Pada 7 Agustus lalu, lebih dari 30 orang berkumpul di depan rumah eksekutif Microsoft Teresa Hutson dengan membawa bendera Palestina dan spanduk bertuliskan WANTED for PROFITING from GENOCIDE. Trotoar di depan rumahnya dilumuri cat merah, sementara jalanan dipenuhi tulisan kapur “Teresa Hutson kills”.

Microsoft sendiri berusaha mengecilkan jumlah karyawan yang terlibat. Namun kenyataannya, banyak pegawai bekerja diam-diam di balik layar untuk menyebarkan pesan tersebut. Dua tokoh utama gerakan ini, Abdo Mohamed dan Hossam Nasr, bahkan sudah dipecat karena dianggap mengganggu kolega dengan pengeras suara. Meski demikian, keduanya terus merekrut pekerja teknologi dan masyarakat umum untuk ikut serta.

Opini yang muncul dari dinamika ini menunjukkan adanya jurang yang makin lebar antara perusahaan teknologi raksasa dengan idealisme sebagian karyawannya. Aksi protes yang awalnya berupa petisi kini berubah menjadi gerakan publik yang sulit diabaikan. Di satu sisi, Microsoft tentu ingin menjaga stabilitas bisnis dan reputasi globalnya. Namun di sisi lain, desakan moral yang dilontarkan para pegawai memberi sinyal bahwa suara kemanusiaan tidak bisa dibungkam begitu saja. Jika Microsoft terus bersikap defensif, citra perusahaan bisa semakin tergerus di mata publik.