Fenomena halusinasi pada model kecerdasan buatan (AI) sekelas ChatGPT-5 dan Gemini 2.5 memang menjadi isu hangat. Walaupun kedua chatbot ini merupakan representasi dari teknologi AI paling canggih saat ini, mereka tidak sepenuhnya kebal dari kecenderungan untuk “mengarang” fakta.
Bagi pengguna di Indonesia, yang notabene termasuk pengguna AI terbesar di dunia, memahami fenomena ini sangat krusial agar dapat memanfaatkan alat ini secara bijak dan kritis.
Apa Itu Halusinasi AI?
Halusinasi AI (AI Hallucination) adalah istilah yang digunakan ketika model bahasa besar (Large Language Model – LLM) seperti ChatGPT-5 atau Gemini 2.5 menghasilkan informasi yang salah, tidak akurat, menyesatkan, atau sepenuhnya fiktif, namun menyajikannya dengan gaya bahasa yang sangat meyakinkan dan fasih.
Istilah ini dipinjam dari psikologi manusia, namun dalam konteks AI, itu tidak berarti AI memiliki kesadaran. Sebaliknya, ini adalah kegagalan sistem di mana model tersebut, alih-alih mengambil data faktual dari basis pengetahuannya, justru “mengimajinasikan” atau membuat jawaban berdasarkan pola statistik bahasa yang sudah dilatihkan. Bagi model, jawaban tersebut terasa benar, padahal secara faktual keliru.
Mengapa Halusinasi AI Bisa Terjadi?
Halusinasi ini bukan disebabkan oleh niat jahat, melainkan karena cara kerja dasar LLM. Berikut adalah beberapa penyebab utamanya:
- Keterbatasan Data PelatihanLLM dilatih dengan data teks yang sangat besar. Jika data tersebut mengandung bias, informasi yang salah, atau hanya mencakup perspektif terbatas, model cenderung mereplikasi atau bahkan memperkuat kesalahan tersebut. Selain itu, jika pertanyaan di luar lingkup data pelatihan, model akan mencoba “mengisi kekosongan” dengan membuat prediksi logis berbasis bahasa, yang seringkali menjadi fiktif.
- Prioritas Kefasihan Dibanding AkurasiLLM dirancang untuk memprediksi kata berikutnya yang paling mungkin secara statistik dalam suatu urutan, menghasilkan teks yang terdengar alami dan koheren (fluent). Kadang-kadang, urutan kata yang secara statistik “paling masuk akal” (paling fasih) justru tidak akurat secara faktual.
- Konteks yang Terlalu Panjang (Long-Context Window)Meskipun model terbaru seperti Gemini 2.5 Pro menawarkan jendela konteks yang sangat besar (kemampuan mengingat percakapan sebelumnya), ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Terlalu banyak informasi yang dipertahankan dalam memori jangka pendek dapat membingungkan model, menyebabkannya mengambil detail dari bagian percakapan yang salah, atau bahkan “berhalusinasi” dengan mencampuradukkan konteks lama.
- Kompleksitas PertanyaanPertanyaan yang sangat spesifik, teknis, atau meminta perbandingan yang mendalam sering kali memaksa model untuk menjangkau batas pengetahuannya, meningkatkan risiko ia membuat informasi pendukung fiktif, seperti mengutip sumber ilmiah yang sebenarnya tidak ada.
Contoh Kasus Nyata Halusinasi AI
Halusinasi telah terjadi pada berbagai model AI:
- Kasus Hukum Fiktif: Seorang pengacara di Amerika Serikat pernah didenda karena menggunakan ChatGPT yang mengutip kasus-kasus hukum fiktif dalam dokumen pengadilan. Chatbot tersebut menciptakan nama kasus, nomor putusan, hingga kutipan dari hakim yang semuanya palsu.
- Klaim Teleskop Luar Angkasa: Sebuah chatbot lain pernah membuat klaim keliru bahwa teleskop luar angkasa James Webb adalah yang pertama menangkap gambar planet di luar tata surya. Klaim ini disajikan dengan sangat meyakinkan namun faktanya keliru.
- Kesalahan Referensi di Indonesia: Dalam konteks Indonesia, halusinasi dapat terjadi ketika pengguna meminta referensi, misalnya, “Siapa tokoh X yang merupakan influencer viral tahun 2025 di Indonesia?” Jika model belum memiliki data tersebut, alih-alih mengatakan tidak tahu, ia bisa “berhalusinasi” dengan menjawab bahwa X adalah seorang profesor ternama atau politisi yang tidak ada hubungannya. Model juga bisa salah mengutip undang-undang atau peraturan daerah yang bunyinya dimodifikasi.
Tips Kritis untuk Pengguna AI di Indonesia
Meskipun ChatGPT-5 dan Gemini 2.5 adalah alat yang luar biasa, pengguna di Indonesia harus mengadopsi pola pikir yang kritis dan skeptis agar terhindar dari dampak negatif halusinasi AI.
1. Perlakukan AI sebagai Draf Pertama, Bukan Sumber Akhir
Anggap jawaban AI sebagai draf yang butuh diedit atau ide yang perlu diverifikasi. Jangan pernah menggunakannya sebagai sumber akhir, terutama untuk:
- Informasi medis, hukum, atau keuangan.
- Tugas akademis (skripsi, esai) tanpa verifikasi ketat.
- Berita atau informasi publik yang sensitif.
2. Selalu Minta Sumber dan Periksa Silang
Jika AI memberikan fakta, statistik, atau kutipan, minta AI untuk menunjukkan sumbernya. Kemudian, periksa kebenaran sumber tersebut secara manual (melalui pencarian Google, situs resmi, atau basis data terpercaya). Jika AI gagal memberikan sumber yang kredibel, waspadai jawabannya.
3. Batasi Pertanyaan Terbuka dan Giring Konteks
Saat mengajukan pertanyaan yang sangat spesifik atau teknis, berikan konteks awal yang jelas. Misalnya, alih-alih hanya bertanya “Apa itu inflasi?”, tanyakan “Jelaskan definisi inflasi menurut Bank Indonesia (BI), dan berikan contoh dampaknya pada harga kebutuhan pokok di Jakarta saat ini.” Dengan menyebutkan BI, Anda memaksa model untuk mencari sumber yang lebih spesifik.
4. Waspadai Nada yang Terlalu Meyakinkan
Halusinasi AI sering kali disajikan dengan bahasa yang sangat percaya diri dan meyakinkan. Jika suatu informasi terasa terlalu sempurna, terlalu rinci, atau terdengar seperti kesimpulan akhir tanpa keraguan sedikit pun, tingkatkan kewaspadaan Anda. Informasi faktual yang valid sering kali memiliki nuansa atau sumber yang jelas.
5. Gunakan AI untuk Kreativitas dan Ide, Bukan Fakta Absolut
Manfaatkan kekuatan AI untuk hal-hal yang tidak memerlukan akurasi faktual 100%, seperti:
- Brainstorming ide.
- Menulis draf kreatif (cerita, puisi).
- Meringkas teks panjang yang sudah Anda verifikasi sebelumnya.
- Menerjemahkan atau menyusun ulang kalimat.
Menggunakan AI secara kritis bukan berarti menolaknya, melainkan menggunakannya sebagai asisten cerdas—seorang asisten yang terkadang bisa berhalusinasi, sehingga membutuhkan pengawasan dan konfirmasi dari Anda, sang pengguna yang bijak.