Ratusan Pekerja Google AI Dipecat Karena Protes Upah dan Kondisi Kerja

Lebih dari 200 pekerja kontrak yang bertugas menilai dan memperbaiki produk AI Google, termasuk Gemini dan fitur AI Overviews, diberhentikan secara tiba-tiba dalam dua gelombang PHK pada bulan lalu. Kejadian ini menambah ketegangan dalam perselisihan yang sudah berlangsung lama mengenai upah dan kondisi kerja.

Para pekerja kontrak ini, yang direkrut oleh GlobalLogic—perusahaan milik Hitachi—memiliki peran penting dalam mengajarkan AI agar memberikan jawaban yang lebih akurat dan manusiawi. Mereka terdiri dari penulis, guru, dan profesional kreatif, banyak di antaranya bergelar master atau PhD. Namun, meski pekerjaan mereka tergolong spesialis, para pekerja mengaku menerima bayaran yang rendah, tidak mendapat jaminan kerja, dan menghadapi tekanan target yang semakin ketat.

Sejumlah pekerja yang dipecat menyebut langkah ini sebagai upaya untuk membungkam protes mereka terkait transparansi upah dan ketidakamanan kerja. Bahkan, ada yang menuduh perusahaan menggunakan hasil kerja para rater untuk melatih AI yang nantinya bisa menggantikan mereka.

Kondisi kerja semakin berat ketika GlobalLogic mewajibkan pekerja di Austin, Texas, kembali ke kantor. Kebijakan ini berdampak pada mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau kesulitan finansial untuk bepergian ke kantor. “Kami seperti sedang menyiapkan jalan untuk digantikan oleh AI,” kata salah satu pekerja yang masih bertahan, namun enggan disebutkan namanya.

Beberapa pekerja sempat berusaha membentuk serikat dengan bantuan Alphabet Workers Union, tetapi upaya tersebut dituding digagalkan. Dua pekerja bahkan melaporkan GlobalLogic ke National Labor Relations Board dengan tuduhan pemecatan tidak adil.

Google melalui juru bicaranya, Courtenay Mencini, menegaskan bahwa para pekerja tersebut adalah karyawan GlobalLogic dan pihak subkontraktornya, bukan karyawan Alphabet. “Kami menilai pemasok kami sesuai dengan Supplier Code of Conduct,” ujarnya. GlobalLogic sendiri menolak berkomentar.

Fenomena ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi industri teknologi saat semakin mengandalkan tenaga kontrak untuk mengembangkan AI. Ketika pekerja merasa digantikan oleh teknologi yang mereka latih sendiri, wajar jika ketidakpuasan meningkat. Jika perusahaan terus mengabaikan aspirasi pekerja, risiko penurunan kualitas produk dan meningkatnya ketegangan sosial bisa menjadi masalah serius.

Situasi ini menjadi cerminan global. Tahun ini, pekerja AI di Kenya membentuk Data Labelers Association untuk menuntut upah layak dan dukungan kesehatan mental. Serikat serupa juga bermunculan di Turki dan Kolombia. Artinya, isu ini bukan hanya masalah satu perusahaan, melainkan gejala ketidakadilan sistemik di industri AI yang sedang berkembang pesat.

PHK massal ini memberi peringatan bagi industri teknologi bahwa tenaga manusia tetap menjadi bagian penting dalam melatih AI. Tanpa memperbaiki kondisi kerja, perusahaan berisiko kehilangan kepercayaan pekerja yang menjadi tulang punggung ekosistem AI.