Dunia komputasi sedang mengalami perubahan besar-besaran, bahkan bisa dibilang ini adalah yang terbesar sejak munculnya internet komersial di tahun 1990-an. Dulu, perusahaan-perusahaan membangun ulang sistem mereka untuk menyesuaikan diri dengan internet. Sekarang, mereka melakukan hal yang sama demi kecerdasan buatan (AI).
Selama dua dekade terakhir, perusahaan teknologi raksasa telah membangun pusat data di berbagai belahan dunia untuk menangani lalu lintas internet, mulai dari mesin pencari, email, hingga e-commerce. Namun, pusat data yang ada saat ini masih belum cukup kuat untuk menangani kebutuhan AI. Bahkan, investasi yang dilakukan sekarang jauh lebih besar. Sebagai gambaran, Google membangun pusat data pertamanya di Oregon pada 2006 dengan biaya sekitar $600 juta (sekitar Rp. 9 Triliun). Bandingkan dengan OpenAI dan mitranya yang baru saja mengumumkan rencana investasi sekitar $100 miliar (sekitar RP. 1600 triliun) untuk pusat data baru di Texas, dan akan menambah $400 miliar lagi di berbagai lokasi di Amerika Serikat.
Dampaknya Tidak Hanya di Dunia Teknologi
Perubahan besar ini tidak hanya berdampak pada dunia teknologi, tetapi juga keuangan, energi, dan komunitas lokal. Perusahaan ekuitas swasta mulai menggelontorkan dana besar ke perusahaan penyedia pusat data. Para teknisi listrik berbondong-bondong ke lokasi pembangunan pusat data baru untuk mencari pekerjaan. Namun, di beberapa tempat, proyek ini mendapat perlawanan dari masyarakat setempat yang khawatir akan dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.
Sementara itu, kebutuhan daya komputasi AI terus meningkat, bahkan melampaui kapasitas listrik yang tersedia saat ini. OpenAI berencana mengumpulkan dana ratusan miliar dolar untuk membangun pabrik chip komputer di Timur Tengah. Google dan Amazon juga telah menandatangani kesepakatan untuk membangun reaktor nuklir generasi baru demi mencukupi kebutuhan listrik pusat data mereka.
Kebutuhan Chip yang Kian Meningkat
Kemajuan AI tidak lepas dari peran chip komputer khusus yang disebut Graphics Processing Units (GPU). Awalnya, GPU dibuat untuk mendukung grafis dalam video game, tetapi ternyata chip ini sangat efektif untuk menjalankan perhitungan matematis dalam neural network—dasar dari chatbot dan teknologi AI lainnya.
Dulu, komputasi lebih banyak mengandalkan CPU (Central Processing Unit) yang mampu melakukan banyak tugas, termasuk operasi matematika sederhana untuk AI. Namun, GPU bisa melakukan ribuan perhitungan secara paralel dalam waktu yang sama, membuatnya jauh lebih cepat dibandingkan CPU dalam melatih model AI.
Perusahaan seperti Nvidia telah merancang ulang GPU agar lebih optimal untuk AI. Bahkan, Google juga mulai membangun chip AI-nya sendiri sejak 2013. Dengan semakin berkembangnya AI, perusahaan teknologi menggunakan jumlah GPU yang semakin besar untuk mempercepat proses pelatihan model mereka.
Perubahan Besar pada Pusat Data
Agar AI dapat berjalan optimal, pusat data juga harus mengalami perubahan. Kini, GPU harus ditempatkan sedekat mungkin satu sama lain agar data bisa berpindah dengan sangat cepat. Hal ini membuat perusahaan membangun pusat data baru yang lebih padat dan dilengkapi dengan kabel serta perangkat keras khusus.
Contohnya, Meta yang sebelumnya hanya membangun pusat data untuk mendukung media sosialnya, kini harus mengadaptasi desainnya agar mampu menampung ribuan GPU. Tak hanya itu, mereka juga harus membangun lebih banyak pusat data untuk memenuhi kebutuhan AI yang terus berkembang.
Konsumsi Listrik yang Melonjak Drastis
Meningkatnya penggunaan GPU menyebabkan lonjakan konsumsi listrik yang luar biasa. Sebuah pusat data tradisional yang menggunakan CPU bisa berjalan dengan daya 5 megawatt, cukup untuk sekitar 3.600 rumah di Amerika. Namun, setelah diubah menjadi pusat data berbasis AI, daya 5 megawatt hanya cukup untuk menjalankan 8-10 baris rak server yang penuh dengan GPU. Bahkan, OpenAI berencana membangun pusat data yang membutuhkan listrik setara dengan 3 juta rumah tangga.
Karena tingginya kebutuhan listrik ini, banyak perusahaan teknologi mulai mencari sumber daya baru. Microsoft bahkan menghidupkan kembali pembangkit listrik tenaga nuklir Three Mile Island di Pennsylvania, sementara Elon Musk memilih jalur berbeda dengan memasang turbin gas di pusat data barunya di Memphis.
Tantangan Pendinginan Data Center
Semakin banyak GPU yang digunakan, semakin panas pula pusat data yang beroperasi. Jika tidak didinginkan dengan baik, seluruh sistem bisa mengalami kegagalan, atau bahkan terbakar. Solusinya? Air.
Google, misalnya, telah menerapkan sistem pendinginan berbasis air di pusat data mereka di Oklahoma. Awalnya, air hanya dipompa melalui pipa di lorong-lorong pusat data. Namun, seiring meningkatnya kepadatan AI, sistem pendinginan ini tidak cukup efektif. Kini, Google membawa pipa air lebih dekat ke GPU agar panas bisa diserap lebih efisien.
Namun, ada risiko besar dalam menggunakan air di pusat data yang penuh dengan peralatan listrik. Untuk mengatasi ini, air yang digunakan harus diproses dengan bahan kimia khusus agar tidak menghantarkan listrik dan tidak merusak perangkat keras.
Kesimpulan : Perkembangan AI telah mendorong perubahan besar dalam dunia komputasi, mulai dari penggunaan chip khusus, desain ulang pusat data, hingga tantangan dalam penyediaan listrik dan sistem pendinginan. Dengan kecepatan perkembangan seperti ini, dalam beberapa tahun ke depan, dunia bisa melihat pusat data yang jauh lebih besar, lebih efisien, dan lebih bertenaga dari yang pernah ada sebelumnya. Pusat data bukan lagi sekadar tempat menyimpan server, tetapi telah menjadi jantung dari revolusi AI yang mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, dan hidup sehari-hari.