Siapa Lebih Baik untuk WallStreet, Biden atau Trump?

Kalau kamu penasaran siapa yang lebih “cocok” untuk pasar saham antara Presiden Joe Biden dan Donald Trump, ini dia ulasannya!

Pasar Saham di Era Biden

Presiden Joe Biden bakal meninggalkan Gedung Putih dengan S&P 500 naik lebih dari 55% dan Nasdaq Composite naik sekitar 46% sejak ia menjabat. Biden memulai masa jabatannya di tengah sisa-sisa lonjakan pasar setelah pandemi Covid pada 2021. Meski sempat dihantam bear market di 2022, pasar kembali menguat dengan kenaikan berturut-turut sebesar 24% dan 28% pada S&P 500 di tahun 2023 dan 2024.

Namun, nggak semuanya cerah. Saham-saham kecil, yang diwakili indeks Russell 2000, cuma naik kurang dari 1%. Itu menjadi rekor terburuk untuk indeks ini dalam sejarah presiden AS.

Pasar Saham di Era Trump

Nah, kalau dibandingin sama Trump, angka-angkanya lumayan beda. Dalam masa jabatannya dari 2017-2021, Nasdaq mencatat kenaikan fantastis sebesar 137,6%—rekor tertinggi untuk empat tahun kepresidenan dalam sejarah pasar saham modern! S&P 500 juga naik cukup signifikan, yaitu 67,3%.

Bagaimana dengan Presiden Lain?

Biden dan Trump belum mengalahkan rekor S&P 500 terbesar sepanjang masa, yaitu kenaikan 84,5% selama periode pertama Barack Obama (2009-2013). Obama juga mencetak rekor di Russell 2000 dengan kenaikan 105,9%, berkat pasar yang bangkit pasca-krisis finansial.

Dan jangan lupakan Bill Clinton, yang memimpin dengan lonjakan luar biasa sebesar 110,8% di Dow Jones selama periode pertamanya (1993-1997). Era Clinton juga dikenal dengan booming dot-com yang mendorong Nasdaq melonjak 297,2% selama dua periode kepresidenannya.

Dari Pemilu ke Pemilu

Kalau melihat dari Pemilu ke Pemilu, Biden unggul di S&P 500 dengan kenaikan lebih dari 70%, dibandingkan Trump yang naik 54,7%. Tapi, Trump menang besar di Nasdaq, naik 111% dibanding Biden yang hanya 62,9%. Untuk Dow Jones, Biden lagi-lagi unggul dengan kenaikan 52,1%, dibanding Trump yang naik 46,9%.

Dampak Berita Ini ke Pasar Saham Indonesia

Meskipun berita soal performa pasar saham di era Biden dan Trump ini berfokus pada pasar AS, pengaruhnya tetap terasa ke pasar saham Indonesia, khususnya di indeks IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan). Kenapa? Karena pasar saham global, terutama AS, sering jadi barometer utama bagi investor internasional, termasuk yang bermain di pasar Indonesia.

1. Sentimen Global Terhadap IHSG

Kinerja pasar saham AS yang solid, seperti kenaikan besar di S&P 500 dan Nasdaq, biasanya membawa sentimen positif ke pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor asing cenderung lebih percaya diri menanamkan modalnya di pasar negara berkembang ketika kondisi pasar global terlihat stabil dan menguntungkan.

Sebaliknya, periode bear market di AS, seperti yang terjadi pada 2022 di era Biden, bisa memicu aksi jual di pasar saham Indonesia. Hal ini terjadi karena investor asing sering menarik dananya dari negara berkembang untuk meminimalkan risiko saat pasar global sedang lesu.

2. Sektor Teknologi di Indonesia Terpengaruh

Dengan Nasdaq sebagai tolok ukur utama sektor teknologi, kinerja pasar saham teknologi di AS sering menjadi indikator bagi sektor teknologi di Indonesia. Lonjakan Nasdaq yang signifikan selama era Trump, misalnya, memberi sentimen positif ke saham teknologi di Indonesia, seperti GOTO (GoTo Gojek Tokopedia) atau BUKA (Bukalapak).

Sebaliknya, jika sektor teknologi di AS melemah, hal ini bisa memberikan tekanan pada saham-saham teknologi di IHSG, karena sentimen global yang negatif.

3. Nilai Tukar Rupiah dan Modal Asing

Kinerja pasar saham AS juga sering memengaruhi arus modal asing ke Indonesia. Ketika pasar AS menarik perhatian investor, aliran modal asing ke Indonesia bisa melemah, yang pada akhirnya memengaruhi nilai tukar Rupiah. Sebaliknya, jika pasar saham AS terlihat kurang menarik, investor asing bisa mencari alternatif di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

4. Kebijakan The Fed dan Dampaknya

Di era Biden, kebijakan moneter The Fed yang cukup ketat, terutama dengan kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, sempat memengaruhi arus dana asing di pasar Indonesia. Suku bunga tinggi di AS membuat aset-aset safe haven seperti obligasi AS lebih menarik, sehingga investor cenderung memindahkan dananya dari pasar negara berkembang.

Namun, jika inflasi AS mulai terkendali dan The Fed melonggarkan kebijakannya, pasar saham Indonesia berpotensi mendapat manfaat dengan arus modal yang kembali masuk.

Kinerja pasar saham AS, baik di era Biden maupun Trump, memiliki pengaruh besar terhadap IHSG melalui sentimen global, arus modal asing, dan nilai tukar Rupiah. Investor lokal perlu mencermati tren di pasar global, terutama kebijakan ekonomi di AS, untuk memahami potensi dampaknya terhadap investasi mereka di Indonesia.

Jadi, jangan hanya fokus ke pasar dalam negeri, ya! Pantau juga perkembangan global untuk mengambil keputusan investasi yang lebih bijak. 😉