Song-Chun Zhu, salah satu ilmuwan AI paling berpengaruh di dunia, membuat keputusan mengejutkan pada Agustus 2020: meninggalkan Amerika Serikat setelah 28 tahun dan kembali ke China. Keputusan ini menjadi sorotan internasional karena Zhu dikenal sebagai sosok kunci dalam riset kecerdasan buatan modern yang membantu meletakkan dasar bagi teknologi seperti ChatGPT.
Zhu, yang kini berusia 56 tahun, memiliki perjalanan hidup yang luar biasa. Ia lahir di sebuah desa kecil di China pada era Revolusi Kebudayaan, tumbuh di tengah kesulitan ekonomi dan kehilangan, dan bercita-cita mengubah takdirnya. Setelah menempuh pendidikan di University of Science and Technology of China, ia mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan PhD di Harvard.
Selama dua dekade di AS, Zhu membangun reputasi besar. Di UCLA, ia memimpin salah satu pusat riset AI paling produktif, menerima pendanaan dari Pentagon dan lembaga-penelitian AS lainnya, memenangkan penghargaan bergengsi. Namun, di balik itu semua, Zhu mulai merasa kecewa dengan arah perkembangan AI di Silicon Valley.
Menurut Zhu, pendekatan big data, small task yang digunakan oleh large language models seperti ChatGPT terlalu terpaku pada data besar dan tugas sempit. Ia berpendapat bahwa kecerdasan buatan sejati harus mampu bernalar, merencanakan, memahami sebab-akibat, serta memiliki intuisi sosial dan fisik, dengan data yang relatif sedikit – konsep yang ia sebut small data, big task.
Keputusan Zhu juga dipengaruhi oleh suasana politik di AS. Di bawah pemerintahan Donald Trump dan berlanjut ke era setelahnya, ketegangan AS–China meningkat, pendanaan riset menyusut, dan ilmuwan keturunan Tionghoa sering menghadapi pengawasan lebih ketat. Banyak yang menilai iklim ini membuat AS semakin tidak ramah bagi ilmuwan internasional, terutama mereka yang memiliki koneksi ke China.
Kepindahan Zhu dianggap sebagai langkah penting bagi China, yang saat ini agresif dalam membangun strategi nasional untuk AI. Ia memegang posisi strategis di dua universitas top di Beijing, dan mengembangkan pendekatan baru AI yang lebih berfokus pada penalaran dan arsitektur kognitif, bukan semata-alat statistik dan data besar. Institusi yang dipimpin Zhu, Beijing Institute for General Artificial Intelligence (BIGAI), didukung pemerintah pusat dan pemerintah kota.
- Zhu telah menerbitkan banyak karya di konferensi dan jurnal AI utama. Pada 2024, misalnya, ada publikasi yang menunjukkan proyek-“Embodied Generalist Agent in 3D World”, TongTest, dan upaya pengujian kecerdasan umum (AGI) melalui lingkungan fisik dan sosial yang lebih kompleks.
- BIGAI memperkenalkan versi terbaru TongTong (TongTong 2.0), diklaim memiliki kapabilitas yang semakin mendekati karakteristik anak usia 5-6 tahun dalam aspek bahasa, pembelajaran, interaksi, dan penalaran.
- Selain aspek teknis, Zhu juga berbicara tentang pentingnya narrative control (pengendalian narasi) dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurutnya, dominasi narasi yang menekankan pendekatan data-besar dan komputasi besar telah memperkuat dominasi AS di bidang AI, dan China perlu mengembangkan pendekatan sendiri yang lebih independen dalam pemikiran ilmiah dan evaluasi inovasi.
- Ada pula kontroversi mengenai pendanaan AS yang pernah ia terima. Beberapa legislator AS mempertanyakan mengapa Zhu mendapat jutaan dolar dari dana federal AS meski memiliki hubungan dengan institusi riset di China, termasuk yang terkait militer, menurut tudingan. Zhu membantah beberapa tuduhan dan mengatakan bahwa beberapa proyek pendanaan tidak memiliki aspek sensitif.
Keputusan Zhu bukan hanya soal sumber daya atau politik, tapi juga soal kerangka ilmiah dan filosofis. Visi Zhu mengajak kita memikirkan kembali batas antara kecerdasan buatan sempit (yang cepat aplikasi dan hasilnya) dan kecerdasan buatan yang lebih mendasar: mampu memahami konteks, sebab-akibat, nilai sosial. Jika arah seperti ini berhasil, bisa jadi akan muncul alternatif dalam perkembangan AI global, bukan hanya dominasi oleh sedikit perusahaan di barat.