Dalam beberapa minggu terakhir, media sosial dipenuhi dengan video hasil karya kecerdasan buatan. Di antara yang paling menonjol adalah video buatan Sora 2, versi terbaru dari platform pembuat video milik OpenAI yang dirilis terbatas pada akhir September. Versi ini hadir dengan aplikasi sosial bawaan yang memungkinkan penggunanya muncul dalam berbagai adegan fantasi seperti memenangkan Nobel, menjadi pemain NBA, atau terbang di medan perang.
Banyak pengguna merasa takjub sekaligus bingung. Reaksi awalnya biasanya campuran antara kagum, lucu, dan kemudian muncul kekhawatiran tentang dampaknya bagi masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kecerdasan buatan semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun mungkin juga mulai kehilangan daya tariknya. Tidak seperti peluncuran ChatGPT yang dulu heboh, Sora 2 kini terasa seperti pembaruan aplikasi biasa di ponsel.
AI dan Cermin Diri Digital
Daya tarik terbesar dari AI ada pada kemampuannya menempatkan versi digital diri kita dalam dunia baru. AI bisa mengubah foto keluarga menjadi animasi bergaya Studio Ghibli, menulis dengan gaya kita sendiri, hingga menempelkan wajah kita di adegan film favorit. Semua itu menyanjung ego pengguna dan menciptakan hubungan personal yang kuat.
Sebaliknya, kemampuan AI yang bersifat teknis, seperti menulis kode selama berjam-jam, cenderung tidak menarik bagi kebanyakan orang. Namun ketika seseorang melihat dirinya menunggang naga ala “Game of Thrones”, sensasi itu terasa jauh lebih mengesankan. Pada dasarnya, kita menyukai AI karena ia menjadi cermin yang lebih indah dari kenyataan.
Antara Kekaguman dan Kekhawatiran
Kecanduan terhadap AI dibangun di antara dua reaksi: “Wah, keren juga” dan “Ini bisa jadi masalah”. Banyak orang menyadari potensi bahaya AI, namun hanya sedikit yang benar-benar memikirkannya dalam. Para pengembang yang menakut-nakuti publik dengan skenario kiamat sering kali memiliki kepentingan ekonomi di balik narasi tersebut. Fenomena ini mirip dengan masa awal cryptocurrency, ketika para pendukung Bitcoin meyakinkan dunia bahwa sistem keuangan global akan runtuh dan lahir tatanan baru.
Ketika hype mereda, cara paling efektif untuk menarik perhatian publik adalah dengan menyebarkan ketakutan baru. Dan kali ini, AI menjadi panggungnya.
Apakah Kita Akan Dirindukan Jika Digantikan?
Pertanyaan yang lebih menarik bukan tentang akhir dunia, melainkan tentang relevansi manusia di masa depan. Jika pekerjaan kita digantikan oleh AI, apakah ada yang akan merindukan kita? Penulis kolom ini bahkan menguji eksperimen pribadi dengan meminta model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT dan Claude menulis ulang tulisannya sendiri. Hasilnya makin lama makin mendekati versi aslinya, bahkan kadang lebih tajam.
Mungkin dalam lima tahun ke depan, AI benar-benar bisa menulis lebih baik dari manusia. Tapi apakah itu penting? Saat komputer pertama kali mengalahkan grandmaster catur, permainan itu justru semakin populer. Artinya, manusia tetap menikmati kegiatan yang melibatkan emosi dan kebanggaan diri, meskipun mesin bisa melakukannya dengan lebih baik.
Batas Daya Tarik AI
Pertanyaan besar bagi perusahaan AI adalah apakah pengguna akan terus menikmati “refleksi diri” yang disajikan, atau justru bosan dengan narsisisme digital yang semakin canggih. Setelah wajah kita bisa muncul di film “Mission: Impossible”, menjadi karakter di “The Simpsons”, atau bahkan di konten dewasa, lalu apa lagi yang tersisa?
Barangkali, batas sejati dari teknologi ini bukanlah kemampuan mesin, melainkan kejenuhan manusia untuk terus melihat dirinya sendiri dalam bentuk yang berbeda.

