Setelah lebih dari satu dekade sejak kemunculannya, USB-C yang dulu digadang-gadang sebagai port “segala bisa” kini dianggap gagal memenuhi janjinya. Harapan akan sebuah konektor universal yang dapat digunakan untuk semua perangkat, dari smartphone, laptop, headphone, hingga monitor, kini tinggal angan. Alih-alih menyederhanakan hidup pengguna, USB-C justru menambah kebingungan dan kekacauan.
Lihat saja sekitar kita: sulit membedakan kabel atau charger mana yang cepat, mana yang lambat, atau bahkan mana yang benar-benar kompatibel dengan perangkat kita. Sebagian port USB-C hanya mendukung kecepatan data rendah, sebagian lainnya mendukung pengisian daya cepat, dan sisanya mungkin punya fitur tambahan seperti dukungan display eksternal. Masalahnya, tidak ada tanda atau informasi yang jelas.
Bahkan produsen besar pun belum mampu memberikan solusi. Apple, misalnya, baru beralih ke USB-C lewat iPhone 15 karena regulasi Uni Eropa. Namun, model dasarnya masih menggunakan USB 2.0 dengan kecepatan data yang sangat rendah. Versi Pro memang lebih cepat, tapi masih tertinggal dari kemampuan Thunderbolt yang lebih canggih.
Sementara itu, standar pengisian cepat seperti USB Power Delivery (PD) dan Programmable Power Supply (PPS) sudah mulai digunakan secara luas. Namun, pengguna tetap harus jeli memilih charger dan kabel, karena tidak semua mendukung fitur ini secara optimal. Google Pixel 9 Pro XL, misalnya, hanya bisa mencapai kecepatan pengisian maksimal jika dipasangkan dengan charger PPS 20V, bukan yang 9V seperti sebelumnya.
China mencoba menawarkan solusi lewat Universal Fast Charging Specification (UFCS), sebuah standar baru yang kompatibel dengan USB PD 3.0. Meski menjanjikan, UFCS belum mendukung sistem lama seperti SuperVOOC atau HyperCharge, sehingga adopsinya masih akan memakan waktu.
Dan masalahnya bukan hanya di kecepatan atau pengisian daya. USB-C juga mencakup transfer data, dukungan audio, video, dan bahkan ekspansi PCI-E, tapi semuanya tergantung port dan kabel mana yang digunakan. USB4 yang seharusnya menyederhanakan malah menambah variasi baru dengan nama yang membingungkan: Gen 2×1, Gen 3×2, Gen 4, dengan kecepatan berbeda-beda. Sulit dipercaya ini datang dari standar yang sama.
USB-C memang universal dalam bentuk, tapi tidak dalam fungsi. Alih-alih mengurangi e-waste, banyak pengguna justru menimbun kabel dan charger dari berbagai standar untuk berjaga-jaga. Semua ini membuat cita-cita awal USB-C, satu kabel untuk semua jadi terasa mustahil. Kini, meski USB-C ada di mana-mana, keruwetan spesifikasinya sudah terlanjur jadi bagian dari kehidupan digital kita. Harapan akan dunia tanpa tumpukan kabel tampaknya harus ditunda… atau mungkin dilupakan saja.